Skip to main content

LET’S GROW THE GREEN

“sauve qui peut (selamatlah mereka yang dapat menyelamatkan diri), begitulah bunyi motto baru itu. Tetapi siapakah yang bisa menyelamatkan dirinya sendiri? Kemenangan kapitalisme sama sekali tidak mendatangkan ‘akhir sejarah’, seperti yang diproklamasikan oleh Filsuf Amerika Utara, Francis Fukuyama, pada tahun 1989, melainkan baru merupakan akhir dari sebuah proyek, yang dengan begitu berani disebut ‘Modernitas’. Zaman telah mulai berubah; bukan kemajuan dan peningkatan kesejahteraan melainkan disintegrasi, kehancuran ekologi dan degenerasi kultural yang dengan cepat membentuk kehidupan sehari-hari dari bagian terbesar umat manusia.” (Hans Peter Martin & Herald Schumann – Jebakan Global)

“Dan demikian juga paradoks: usaha sosial apapun yang menjamin dan mengembangkan pilihan-pilihan dan kebebasan manusia dimasa depan, jika mau berhasil, harus melindungi dan menjamin sebanyak mungkin kekayaan dan keragaman hayati dari apa yang sudah ada, yaitu masa lalu. Pendekatan seperti itu mendekatkan kekayaan akan kemungkinan dan pilihan kongkret pada saat ini. Melindungi keanekaragamanhayati itu penting bukan karena keanekaragamanhayati mungkin berguna atau menguntungkan (meskipun dalam beberapa hal memang demikian), melainkan karena dalam tindakan melindungi, kita akan mulai menyelamatkan diri kita dari apa yang telah menjadi pengingkaran global yang menelan semuanya, pengingkaran yang pada akhirnya mengancam umat manusia sendiri. Pelestarian bukan hanya berkisar pada melindungi spesies yang berbeda atau melindungi budaya manusia yang berbeda, melainkan juga memungkinkan adanya masa-masa depan yang berbeda dan dunia-dunia yang berbeda. Inilah tindakan mendasar dari kebebasan bagi diri kita dan makhluk-makhluk lain.” (Bruce Rich – Menggadaikan Bumi)


Pendul mengajak saya jalan-jalan disepanjang pelosok kampung kecil Rajagaluh, ini seperti bertamasya dimasa kecil, tentu tanpa balon tiup. Menemukan banyak sekali jejak petani ditiap sudut, disepanjang jalan-jalan utama, perkampungan dengan kabut, hunian dan pepohonan, di Sadarehe saya bisa mencium aroma pepohonon yang aneh, menghirup udaranya dengan nafas sesuka yang saya inginkan, berharap paru-paru dalam tubuh saya bisa berenang dalam oksigen, sebenar-benarnya oksigen. Memandang tebar hamparan hijau membuat saya berpikir tentang bagaimana Tuhan memulai sesuatu. Tuhan selalu memulai dengan menumbuhkan sesuatu, dan tentu, selambat mungkin untuk mematikannya kembali. Tapi manusia berebut kursi kendali dengan Tuhan, kita merenggutnya dari bumi, atau dari Tuhan. Kamu tahu dul, Tuhan Maha Pendiam, tapi Ia menumbuhkan konsekwensi logis, dan kita akan menemukannya disetiap tikungan jalan.

Saya jadi ingat Program Transmigrasi di Indonesia, kita masih belum lahir sejak program itu dicanangkan, saya hanya membacanya dari sebuah buku yang mengatakan bahwa sejak keterlibatan Bank Dunia pada 1970-an, Program tersebut mewariskan kerusakan lingkungan. Mengorbankan 15.000 sampai 20.000 kilometer persegi hutan tropis kita. Pada kenyataannya, paling tidak 40.000 sampai 50.000 kilometer persegi hutan tropis yang menjadi korban (4 % dari hutan di Indonesia dan 3% dari hutan tropis yang tersisa di dunia), dengan alasan yang hampir bisa dipastikan: usaha-usaha pembangunan diseluruh dunia, dengan upaya tersebut berharap bisa mengurangi kemiskinan, dan sebagai solusi atas ledakan penduduk pulau Jawa, yang pada saat itu telah menjadi tempat paling padat di bumi karena dihuni sekitar 105 juta jiwa (1993).

Saya merasa bahwa kelas miskin terbesar sekarang adalah petani kita, setidaknya itulah sentimen yang terjadi di Indonesia, kebanyakan dari lulusan Sekolah Menengah Atas menginginkan mempunyai pekerjaan dengan jenis pekerjaan yang bernuansa modern dengan tekhnologi mutakhir, jadi dapat dipastikan dari 1.000 orang pelajar Indonesia hanya 1 orang yang memiliki interes tinggi terhadap usaha-usaha pertanian. Apa kata pak Kardi diladang kecil itu dul?: “Tong hayang jadi patani, kena teu gaduh nanaon”(jangan mau jadi petani, kelak tidak punya apapun); jadi tentu, kebanyakan dari petani kita tidak menyukai pekerjaan tersebut, kecuali alasan kebutuhan hidup.

Malam itu kita ketemu pak Momon Syarifudin dari Bolamata Forest Project, ia mengemukakan tentang betapa susahnya menemukan partner keuangan untuk program pertanian, baik itu Investor maupun Perbankan; dengan alasan fluktuasi harga yang tidak seimbang menyurutkan mereka dari upaya-upaya pengembangan pertanian, kelakarnya menohok gara-gara perbankan memunggunginya: ”jadi fungsi bank itu ada tiga: 1). meminjamkan dana pada usaha yang sudah berjalan, 2). meluluskan para penipu dan pembobol bank, dan 3). Tidak meminjamkan dana pada orang yang mau mendirikan usaha”. Ini kelakar, tentu saya ketawa, tapi kamu tidak dul.

Saya juga ingat pada kalimat yang diutarakan oleh Ir. Endang Surahmat (masih dari Bolamata Forest Project) bahwa Majalengka adalah salah satu kawasan sentral jagung terbesar, kemungkinan pada Panen Raya tahun 2008 ini hasil produksi jagung tidak akan kurang dari 20.000 ton, dan Rajagaluh; ia mempunyai tanaman bibit terbaik : Rambutan, Durian dan Mangga. Sekalipun yang terakhir menjadi yel dari kota indramayu, tapi pembibitan tidak pernah bisa disangkalkan.

Atau ketika saya ketemu dengan Drs. Suhadi Mm, ia bekerjasama dengan Universitas Brawijaya untuk Budi Daya tanaman Bunga Rosella (Hibictus Sabdarriffalus) sekaligus berusaha keras dengan tertatih-tatih merangkul semua kelompok tani yang dia kenal (saya tahu, jumlah petani binaannya ribuan orang) dalam meningkatkan pendapatan alih-alih taraf hidup petani, Tanaman ini menjadi satu yang paling memiliki nilai jual tinggi dari sekian banyak tanaman yang digarap oleh petani kita. Yosep gimbal dan Mamentho cemeng pernah traktir dia makan baso dul, di lingkar Halte; taman bolamata itu. tentu ini kontemporer, dan kelak akan berubah menjadi terstandarkan sesuai komoditas.

Apa dul?? Hahaha….saya hanya mengutip sebagian dari apa yang mereka katakan tentang semua hal berbau pertanian, sama seperti kebanyakan dari kita, sungguh saya belumlah mengerti ini, saya hanya akan mengubah cara pandang saya terhadap petani-petani dan lahan-lahan garapan mereka yang terlalu berharga untuk bumi yang melahirkan kita. Atau tentang evolusi perubahan kelas miskin dalam tatanan sosial yang kemudian menuduh petani dalam koridor tersebut, menuduh mereka terbelakang dan tidak modern, kurang beradab, dan malu-maluin. Padahal seluruh kota-kota dengan bertumpuk-tumpuk sisa makanan setiap harinya di tong sampah telah disuplay oleh orang kampung seperti pak Kardi tadi.

Ketika para martir revolusioner menyerukan pembebasan untuk petani-petani yang sama sekali tidak mereka sentuh, orang-orang yang berani itu: mengungkap segala hal tentang derita petani, bukan sama sekali tidak ada jalan keluar untuk mengajak petani pada jalan kearah seperti pemikiran mereka itu, tetapi mereka telah menjadi sedemikian adanya: masuk lingkungan petani, memprovokasi mereka supaya menggugat pemerintah untuk berpihak pada mereka, tapi pemerintah selalu baik, mengamininya kemudian meringkusnya dengan serbagai macam pajak atau membiarkannya hingga melumut, menyerukan tanda-tanda kegilaan dengan api dan es dikepala mereka, lalu tenggelam dan ditinggalkan. Setelah itu petani berlaku seperti kehidupan sebelumnya, hidupnya tidaklah banyak berubah. Tetapi kepalanya membuncah, menelurkan ideologi yang sebelumnya sama sekali tidak mereka miliki. Sebetulnya ia begitu kelelahan menanggung apa yang ada didalam kepalanya, sama lelahnya dengan tenaga mereka diladang-ladang yang jarang dilalui para pejabat, aktivis, kelas menengah dan kaum borjuasi. Kecuali ketika mereka hendak bertamasya dan tinjauan politis semata.

Tetapi dul, saya tidak bicara mengenai petani; tetapi apa yang dihasilkan dari profesi mereka; jutaan pepohonan bertumbuh dari tangan mereka, dibibitkan seperti seorang ibu melahirkan, mereka meneruskan tangan Tuhan untuk menumbuhkan jutaan hektar tanah dengan warna pohonan, kelak dituai, ditumbuhkan lagi. Hingga pada masanya, mereka tidak digantikan oleh siapapun, termasuk anak-anak mereka. Kecuali kepedulian kecil dari profesi kecil yang ada, atau bahkan dari aktifitas periodikal sebagai bahan penyelamatan bumi karena ternyata manusia baru menyadari bahwa ada banyak spesies dari tumbuhan yang semakin hilang setiap tahunnya. Lebih mudah menuai dari pada menumbuhkan.

Ada ribuan alasan kenapa hutan-hutan dibabat. Dan inkubatornya adalah bank-bank sentral ditiap belahan bumi mendanai berbagai proyek tersebut; jalan tol, irigasi, hunian ‘beradab’, pabrik-pabrik, hampir semuanya mengerucut pada kordinat pembangunan tanpa melihat dampak ekologi yang ditimbulkan. Sekalipun Indonesia memiliki hukum bagi perusahaan pemerintah ataupun swasta melalui amdal, pada kenyataannya kerusakan lingkungan telah terjadi besar-besaran setiap tahunnya .

Claude Levi-Strauss, 1972 mengingatkan kita bagaimana kita seharusnya bersikap bijaksana terhadap spesies apapun yang lahir sebelum kita : “mungkin belum pernah lebih penting daripada sekarang untuk mengatakan apa yang mitos katakan: bahwa humanisme yang teratur tidaklah dimulai dari dirinya sendiri, tetapi mengembalikan hal-hal pada tempatnya. Dia menempatkan dunia didepan kehidupan, kehidupan didepan manusia, dan penghormatan kepada yang lain didepan cinta diri. Inilah pelajaran yang oleh orang-orang yang kita sebut “orang beradab” ajarkan kepada kita: pelajaran tentang kerendahan hati, kesopanan dan kebijaksanaan dihadapan dunia yang mendahului spesies kita dan akan mempertahankan kehidupannya”.

Dan kelak, petani akan secara besar-besaran menjadi begitu sangat dibutuhkan, bukan karena mereka tahu secara detail mengenai bagaimana menumbuh kembangkan pohonan; tetapi disebabkan ekologi mengevolusi kepunahan, pohonan laiknya hutan tropis tidak tumbuh dilaut, diudara dengan burung dan mengambang, tidak juga dalam pabrik-pabrik, atau kota dengan lantai trotoar, aspal,dan keramik licin. Dan tentu, bumi tempat segala ada, 70%nya adalah lautan, dan daratan kita gadaikan atasnama perubahan pembangunan.

Bruce Rich beradai-andai, sekalipun gerah karena World Bank :” jika saja pembangunan menempatkan manusia sebagai tujuan”.
(tulisan ini dibuat untuk serumpun bambu festival JAF,2008)





Comments

Agusgoh & Co. said…
jadi inget waktu digusur, hehehehe :((

Popular posts from this blog

Untuk : Amandha anjaswatie handanie

Nda yang aku cintai… Aku hanya ingin mengungkap cinta hatiku padamu nda, sejauh ini…sepanjang roman yang kumiliki hingga hari ini…dan nafas, yang menyimpan seribu pengakuan. Aku memilih nafas untuk mengendapkan seluruh yang aku rasakan, sebaik-baiknya perasaan, sebab nafas tak memilih perasaan apapun tapi menyimpan kepekaan yang dalam, aku sering mengenali dari nafasmu nda, saat kita sedekat kemarin. Aku selalu ungkapkan apa yang aku rasakan padamu, disiang hari dan malam saat hening, aku selalu ingin nda tahu bagaimana aku merangkak dalam kepekatan. Bolamata school yang menjaga nafas idealisme masa lalu itu sudah tidak serupa bayanganku, ia terlalu berat menanggung kepekaannya sendiri. Nda tahu kan bahwa ada banyak orang yang pergi karena mereka terlalu berat menanggung cinta yang nisbi, cinta yang tidak dapat mereka peroleh dimana-mana, cinta yang hanya serupa gaung, cinta yang membuat mereka selalu menderita, cinta yang seperti roman fiksi dalam literasi. Sebagian menganggapnya bahw