Skip to main content

Kenyataan adalah saat ini

Kita tidak pernah tau sampai sesuatu tiba didepan mata, tapi setidaknya kita bisa meramalkan atau menggunakan feeling kita yang terkadang membawa kita kegerbang kenyataan. Kita juga memiliki imajinasi-imajinasi yang terkadang merusak pikiran-pikiran kita yang membawa kita dalam dunia maya, dunia yang penuh dengan pengaturan. Pengaturan yang dirancang oleh diri kita sendiri. Aneh… tapi… nyata dalam arti pikiran-pikiran seperti itu memang benar adanya, mungkin hampir setiap kepala manusia. Selagi dapat mengembangkan atau selagi masih dapat membaca mana maya dan mana yang nyata kurasa itu sah-sah saja. (Lely Susilawati)


Berita di TV mengabari seluruh Bangsa Indonesia tentang kekerasan rumah tangga yang dilakukan oleh Pangeran Kesultanan Kelantar Malaysia, Tengku Muhammad Fakhry kepada istrinya yang berbangsa Indonesia itu, Manohara Odelia Pinot. Kopi dimeja masih belum saya sentuh, masih panas, tapi rokok sudah mengepul sejak saya bangun.

Berita lain yang tak kalah serunya adalah mengenai gimmick para politikus yang tengah berusaha merayu Rakyat Indonesia melalui semua kegiatan politik yang mereka lakukan, sesungguhnya saya pikir hanya media TV-lah yang mereka jadikan senjata terhebat saat ini untuk menciptakan propaganda Pro-Rakyat, agar kita merasa yakin terhadap bursa pencalonan mereka; bahwa merekalah yang paling memenuhi prasyarat dalam program memperjuangkan Bangsa Indonesia ini melalui kekuasaan yang mereka miliki kelak.

Pemilu Presiden 2009 memasang para Calon Presiden dan Wakil Presiden dengan ribuan sandiwara yang dihembuskan melalui sandiwara-sandiwara persis panggung sungguhan. Susilo Bambang Yudoyono dan Boediono yang dicap penggusung Neo-Liberal, Megawati Soekarno Putri dan Prabowo yang lebih kelihatan seperti Sosialis dengan menggusung yel Pro-Rakyat, Jusuf Kalla dan Wiranto yang kelihatan seperti pebisnis yang banyak mencuatkan teori ‘gambling’ sebagai percepatan dalam mengatasi masalah-masalah kerakyatan. Saya merasa betapa panasnya persaingan ini.

Hujan diluar menciptakan atmosphere romantisme sendiri, saya masih mengalami banyak trauma dari setiap kejadian dan upaya-upaya penyelesaian masalah, setelah segala yang saya lakukan belumlah menemukan hasil yang signifikan. Saya sendiri belumlah sembuh dari rasa was-was ini, belumlah memiliki hasrat untuk memulainya lagi, saya masih belum mau beranjak dari sini, dari kontemplasi yang saya pikir adalah bentuk penyembuhan terhadap diri sendiri untuk kembali menemukan cara terbaik dalam memulai lagi merumuskan dan bergerak mengatur masa depan. Dan, hidup… rasanya terlalu singkat untuk saya ikuti rimanya.

“kamu terlalu virtual goh!” kalimat itu yang selalu berdengung dalam pikiranku. “ini dunia nyata, harusnya kamu lebih nyata dari duniamu sendiri”. Semenjak mendengar kalimat itu, semenjak itu pula paradigma berbeda menggelitikku. Denyutnya mengubah parameter yang sejak dulu menjadi idealisasi yang saya pakai untuk menyikapi segala sesuatu, kini saya sungguh-sungguh tidak tau… barangkali hal yang saya yakini sejak dulu adalah sebuah hayalan- dari imajinasiku sendiri, saya terkurung oleh ruang yang sebenarnya telah diciptakan oleh saya sendiri.

Mungkin saya hanya mengira bahwa imajinasi telah saya ubah menjadi kenyataan yang sebenarnya padahal tidak. Ini hanya sebuah ilusi, ilusi yang menciptakan resiko-resiko tinggi… tapi bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin sebuah ciptaan imajinasi mengakibatkan resiko nyata? Kemudian saya mengira bahwa justeru inilah kenyataan itu. Hanya saja saya berada dalam persimpangan, dijalan bernama ‘resiko’, saya merasa sedang berhenti disitu.

Berita TV masih menyala, kali ini tentang Global Crisis Efect, General Motor sebagai lambang produk Amerika Serikat itu tumbang, kebangkrutan ketiga terbesar sepanjang sejarah perekonomian dunia, 11 perusahaanya dinyatakan hendak ditutup, artinya akan ada pengangguran besar-besaran di negeri Obama ini, pemerintah Amerika sendiri berencana untuk mensubsidi perusahaan raksasa itu sekitar 311 Milyar dollar lebih, entahlah. Saya meminum lebih banyak kopi dalam satu seruputan; hujan diluar masih tampak romantis.

Saya mengingat pidato Susilo Bambang Yudoyono dalam menanggapi lawan politiknya tentang ketidak setujuannya terhadap pidato kampanye yang banyak menawarkan ‘angin surga’, dalam pertumbuhan ekonomi yang direncanakan masa pemerintahannya mendatang, ia mematok peningkatan hingga 7%, Megawati dengan Prabowo 10%, bagiku sama saja. Sebuah rencana hanyalah sebuah rencana. Rencana masih sebuah wacana, sebuah dunia bernama maya. Ia belumlah menjadi kenyataan.

Saya mengingat lagi sebuah narasi :’gagal merencanakan sesuatu berarti merencanakan kegagalan’. Saya selalu mengingat itu. Saya selama ini banyak menciptakan rencana-rencana, rencana adalah reaksi dari rasionalisasi-imaji menuju kenyataan yang sesungguhnya, ia yang kelak akan menciptakan bentuk dari apa yang terjadi, kenyataan sebenar-benarnya. Tapi rencana bisa meleset, banyak faktor yang mengakibatkan hal itu terjadi baik secara emosional maupun rasional.

Dalam Psikologi Imajinasinya Jean paul Sartre bahwa ‘imajinasilah yang menciptakan realitas’ sesungguhnya benar adanya. Ketika saya menciptakan proyeksi dalam rancangan-rancangan yang ada, kadangkala saya menemukan banyak sekali orang yang tidak mempercayai itu; mereka mengira hanya sebuah ilusi. Ia tidak benar-benar ada.
Kenyataan dalam beberapa pengalaman yang ada, dari banyaknya rencana proyek, hanya satu yang bisa dijalankan; dan itupun tentu memuat resiko kegagalan. Bagaimana ketika kegagalan itu terjadi? Mereka tidak akan pernah mempercayaimu lagi!. Mereka sungguh-sungguh pembenci kegagalan, mereka tidak akan menerima kegagalan sebagai sebuah resiko kewajaran; karena mereka tidak pernah mendapat nilai apapun dari kegagalan itu.

Sebenarnya apa yang mereka harapkan dari gerak ini? Sebuah keberhasilan. Harapan adalah kenyataan dalam dunia maya, dunia penuh kelimpahan dalam imajinasi-imajinasi, sedangkan Keberhasilan adalah kenyataan dalam dunia yang sungguh-sungguh dialami. Tapi bagaimana bisa mereka bergantung pada harapan-harapan yang mereka sendiri tau bahwa itu sebuah imajinasi dari mereka sendiri? Itu belumlah menjadi kenyataan, dan bisa berbalik menjadi 360 derajat bernama kegagalan.

Sesungguhnya kenyataan adalah apa yang kita lakukan, apa yang kita dapatkan, apa yang terjadi. Dan bukan sebuah harapan-harapan. Karena harapan dari rencana-rencana itu hanya nyata dalam imajinasimu saja.

Jadi tungguhlah, sampai kita semua tau ‘apa yang kelak kita dapatkan’ dalam kenyataan: sebuah keberhasilan seperti dalam rencana yang kita harapkan dari dunia maya itu atau sebuah resiko kegagalan?. Saya katakan sekali lagi itulah kenyataan.
Kopi telah habis, hujan masih juga tampak romantis, saya telah mencipta janji dengan orang pertama setelah merasa harus bangkit dari reruntuhan ini. Tanggungjawab terbesar baru hendak dimulai dari sini.
Semangat!.

Kuningan, 01 Mei 2009s

Comments

Anonymous said…
Apa yang kita pikir mengenai idealisme. ada banyak kiblat yang kemudian pudar oleh Makna yang sesungguhnya.tergilas oleh congkaknya dunia, mengabu, kemudian terbawa angin dan hilang.

Popular posts from this blog

Untuk : Amandha anjaswatie handanie

Nda yang aku cintai… Aku hanya ingin mengungkap cinta hatiku padamu nda, sejauh ini…sepanjang roman yang kumiliki hingga hari ini…dan nafas, yang menyimpan seribu pengakuan. Aku memilih nafas untuk mengendapkan seluruh yang aku rasakan, sebaik-baiknya perasaan, sebab nafas tak memilih perasaan apapun tapi menyimpan kepekaan yang dalam, aku sering mengenali dari nafasmu nda, saat kita sedekat kemarin. Aku selalu ungkapkan apa yang aku rasakan padamu, disiang hari dan malam saat hening, aku selalu ingin nda tahu bagaimana aku merangkak dalam kepekatan. Bolamata school yang menjaga nafas idealisme masa lalu itu sudah tidak serupa bayanganku, ia terlalu berat menanggung kepekaannya sendiri. Nda tahu kan bahwa ada banyak orang yang pergi karena mereka terlalu berat menanggung cinta yang nisbi, cinta yang tidak dapat mereka peroleh dimana-mana, cinta yang hanya serupa gaung, cinta yang membuat mereka selalu menderita, cinta yang seperti roman fiksi dalam literasi. Sebagian menganggapnya bahw